Beranda | Artikel
Garis Besar Pendidikan Pada Masa Salaf
Selasa, 9 Maret 2010

GARIS BESAR PENDIDIKAN PADA MASA SALAF

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Pendidikan memiliki peran sangat penting dan menentukan dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan peradaban manusia, khususnya dalam membina manusia dan membebaskannya dari kebodohan, kegelapan, dan kesesatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendidik manusia agar menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan terlepas dari kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.[al-Baqarah/2:151].

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.[Ali Imran/3:64].

Demikianlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membina dan mendidik para sahabatnya sehingga mereka menjadi generasi terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka. [HR al-Bukhâri, 5/191, dan Muslim no. 2533].

Mereka menjadi manusia terbaik di bawah pembinaan pendidik terbaik, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga Mu’âwiyah bin al-Hakam Radhiyallahu anhu mengungkapkan kekagumannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ungkapannya yang indah:

مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ رواه مسلم

Aku tidak akan melihat seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik darinya. [HR Muslim no. 836].

Sebagai teladan yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mencontoh dan mengikutinya:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ  

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [al-Ahzab/33:21].

Juga dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [al-Qalam/68:4].

Oleh karena itu, semestinya menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rujukan dalam mendidik dan membina kehidupan seluruh manusia. Sufyân bin ‘Uyainah al-Makki rahimahullah menyatakan: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah standar terbesar. Segala sesuatu (harus) ditimbang berdasarkan akhlak, sirah dan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semua yang sesuai dengannya, itulah kebenaran; dan yang menyelisihinya, itulah kebatilan”[1].

GARIS BESAR PENDIDIKAN PADA MASA SALAF
Salah seorang murid Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni, yaitu Syaikh Muhammad ‘Id Abbâsi, menyimpulkan garis-garis besar yang terpenting mengenai pendidikan pada masa Salaf. Beliau menyebutkan dalam makalahnya yang berjudul at-Ta’lîm fi ‘Ahdi as-Salaf, sebagai berikut.

  1. Menjadikan Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai landasan dan sumber ilmu. Keduanya merupakan sumber terpercaya dan maksum dari segala kesalahan dan kekurangan.
  2. Memahami Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman Salafush-Shâlih, yaitu seperti para sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’it Tâbi’î Mereka telah dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur`an, dan juga direkomendasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diikuti.
  3. Mengikhlaskan ilmu hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadikannya sebagai puncak usaha dan tujuan kita.
  4. Memulai dengan menanamkan secara kokoh keimanan kepada jiwa murid sebelum belajar hukum syariat. Ini dilakukan dengan mengenalkan tentang Rabb, nama, sifat dan perbuatan-Nya, sehingga tertanam dalam jiwa murid pengagungan, penghormatan, pengharapan dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , serta kecintaan kepada-Nya. Dia juga akan selalu ingat kepada kematian, kengerian hari Kiamat, surga dan neraka serta hari Perhitungan amal. Memulai pendidikan dengan sisi ini akan mempersiapkan seseorang supaya dapat melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta senantiasa istiqamah. Demikian yang disampaikan Al-Qur`ân dalam masalah pendidikan generasi pertama dan kedua. Dijelaskan oleh Ummul-Mukminîn ‘Aisyah Radhiyallahu anha :

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ رواه البخاري (4993)

Sesungguhnya yang pertama kali turun darinya ialah satu surat dari al-Mufashshal (surat-surat pendek) yang berisi penjelasan tentang surga dan neraka; sehingga apabila manusia telah mantap dalam Islam, maka turunlah (ayat-ayat tentang) halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun (kepada mereka) adalah “jangan minum khamr (minuman keras),” tentu mereka akan menjawab “kami tidak akan meninggalkan khamr selama-lamanya”. Seandainya yang pertama turun adalah  “jangan berzina,” tentu mereka akan menjawab “kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya”. Sesungguhnya telah turun firman Allah “sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka, dan Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit” -al-Qamar 54 ayat 46- di Mekkah kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pada waktu itu aku masih anak kecil yang bermain-main. Dan belum turun surat al-Baqarah dan an-Nisâ`  kecuali aku sudah berada di sisinya. (HR al-Bukhâri, no. 4993).

  1. Mengagungkan dan menghormati ilmu dan menjadikannya sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Konsekuensi dari itu, ialah memuliakan dan menghormati serta berbuat santun kepada para ulama dan para guru.. Demikian juga seorang murid harus merendahkan suara di hadapan mereka, tidak berbuat lancang kepada mereka, hendaklah berlemah-lembut dalam berbicara dengan mereka. Mereka ialah pewaris para nabi sebagaimana telah disabdakan Nabi n . Lantaran itu, maka mereka para pendidik itu pun akan senang hati menyampaikan ilmu yang dimilikinya dan memberikan faidah (ilmu) yang mereka miliki.
  2. Berpegang dengan metode ilmiah dengan berlandaskan dalil, hujjah, bukti kongkrit, menjauhi taklid, meninggalkan perkiraan dan prasangka keliru. Dalam pengajaran Islam, metode ini memiliki peran sangat penting. Sebab, Islam mengajak manusia untuk berfikir dan mencari dalil. Bimbingan Al-Qur`ân ini telah diamalkan oleh para Salaf terdahulu.
  3. Menjadikan tujuan terbesar pendidikan dan pengajaran terfokus pada pembentukan pribadi muslim yang tunduk dan menerima perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala . Kepribadian yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam uluhiyah-Nya dan menempuh beribadah sesuai jalan-Nya, sehingga mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar, berpegang teguh dengan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, melaksanakan kewajiban khilafah di bumi, memperhatikan agama dan dunia, serta beramal untuk dunia dan akhirat.
  4. Dalam proses pengajaran, menghubungkan hakikat ilmiah dengan hakikat keimanan, menanamkan aqidah yang benar dan mengokohkannya di dalam jiwa para murid. Inilah metode Al-Qur`ân dalam pembentukan aqidah, dimana dipaparkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala di alam semesta, jiwa dan ufuk bumi, dan mengajak manusia untuk merenungkan, memikirkan, sehingga sampailah keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , iman kepada kodrat (kekuasaan) dan sifat-sifat-Nya. Metode ini berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya menyampaikan hakikat ilmiah, dan memisahkan ilmu dari agama; sehingga pendidikan hanya bersifat lahiriyah dan sekedar slogan tanpa berpengaruh kepada akhlak, tidak membentuk manusia yang shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam menceritakan ilmu orang-orang kafir:

يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. [ar-Ruum/30:7].

  1. Seorang pendidik harus menjadi teladan yang baik bagi para muridnya. Kaidah ini merupakan landasan yang sangat penting dalam pendidikan. Dengan cara qudwah inilah Islam memerintahkan dan memperingatkan secara keras perbuatan seseorang yang menyelisihi perkataannya, dan khususnya bagi seorang ulama. Dalam hal ini, Islam memberikan permisalan dengan permisalan yang paling buruk, dengan keledai dan anjing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya; adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunju kepada kaum yang zhalim. [al-Jumu’ah/62:5].

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْٓ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ ١٧٥وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah; maka perumpamaannya seperti anjing; jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.  [al-A’râf/7:175-176].

  1. Lemah-lembut terhadap murid, menyambut dan memotivasinya. Banyak dalil yang memerintahkan untuk berbuat demikian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhitungkannya sebagai faktor yang dapat mengantarkan kepada kesuksesan dan keberuntungan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [an-Nahl/16:125].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانهَ،ُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ  رواه أحمد (23786) ومسلم (2594) وأبو داود (2487).

Sesungguhnya kelembutan tidak menyertai sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidak hilang dari sesuatu kecuali akan merusaknya. [HR Ahmad no. 23786, Muslim no. 2594 dan Abu Dawud no. 2487].

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِيْ الْأَمْرِ كُلِّهِ  رواه البخاري (6024) ومسلم (2165) وغيرهما

Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan (rifqu) dalam seluruh perkara. (Muttafaqun ‘alaihi).

سَيَأْتِيْكُمْ أَقْوَامٌ يَطْلُبُوْنَ الْعِلْمَ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَقُوْلُوْا لَهُمْ: مَرْحَباً مَرْحَباً بِوَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ” رواه ابن ماجة (247)

Akan datang kepada kalian kaum yang menuntut ilmu; bila kalian mendapatinya, maka katakanlah kepada mereka ‘selamat datang, selamat datang orang yang menjadi wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘. [HR Ibnu Majah no. 247].

Oleh karena itu, dahulu, para ulama dan para pendidik berbicara kepada para penuntut ilmu dengan perkataan yang bagus, tawadhu`, mencintai mereka dan bermuamalah secara baik dengan mereka. Demikian juga dengan para pelajar, mereka mencintai para pendidik, senang bersama mereka, menghormati dan memuliakan guru-gurunya, serta mengambil faidah dari mereka sebaik-baiknya. Sehingga lantaran muamalah yang baik antara pendidik dengan murid, maka semua akan mendapatkan banyak manfaat dan kesuksesan.

Di antara bentuk lemah-lembut kepada murid, yakni dalam menyampaikan informasi ilmiah, para pendidik menyampaikannya secara bertahap, dari yang mudah kepada yang sulit, dan dari yang biasa sampai yang komplek dan seterusnya.

  1. Melakukan variasi dalam uslûb (mengajar) sehingga murid menjadi tertarik, merasa rindu dan pikirannya terkonsentrasi mengikuti pelajaran. Di antara uslûb itu, misalnya dengan metode tanya jawab, diskusi, kisah-kisah, permisalan, atau dengan penggunaan alat dan sarana pengajaran yang ada. Uslûb demikian banyak dicontohkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pernyataan para Salaf terdahulu.

AJAKAN DAN HIMBAUAN
Menjadi suatu kewajiban bagi para ulama, da’i, ustadz dan para pendidik untuk mempelajari keahlian yang dimiliki para sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka telah meraih kedudukan dan derajat yang tinggi dan mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Tanamkan karakteristik dan keahlian mereka dalam ingatan saat kita menunaikan kewajiban mendidik generasi masa kini. Sebagai pendidik, hendaklah memiliki tujuan membentuk generasi seperti generasi para sahabat dalam hal aqidah dan pemahaman terhadap Al-Qur`ân dan Sunnah, dan menjadikan anak didik untuk selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta mendidiknya menjadi orang yang zuhud terhadap dunia dan antusias dengan akhirat. Disamping itu, seorang pendidik, hendaklah juga mampu menanamkan pada anak didik untuk memiliki sikap mau berkorban dalam mencapai keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala , memiliki semangat membela agama dan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mari kita tanamkan hal ini dalam benak dan ingatan kita, semangat menerapkannya ketika kita pendidik keluarga, lingkungan dan sekolah-sekolah, agar kita dapat mengembalikan masa depan kaum Muslimin dengan cahaya ilmu dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wabillahit taufiq.

Maraji’:

  1. At-Ta’lîm fi ‘Ahdis-Salaf, Syaikh Muhammad ‘Id ‘Abbâsi, sebuah makalah.
  2. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi
  3. Kaifa Rabba an-Nabi n Ash-hâbahu, Kamâl bin Mukhtar Ismâ’il.
  4. Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif dll.
  5. Tadzkirat as-Sâmi’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Ibnu Jama’ah al-Kinâni, Tahqîq: as-Sayyid Muhammad Hasyim an-Nadawi, Penerbit Rimâdi lin-Nâsyir, Cetakan Kedua, Tahun 1416 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun XII/1429H/2008M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Tadzkirat as-Sâmi’ wa al-Mutakallim, Ibnu Jamâ’ah al-Kinâni, hlm. 21


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2678-garis-besar-pendidikan-pada-masa-salaf.html